Rabu, 16 Mei 2012
JALUR GAZA, Rabu (Sahabatalaqsha.com): Randa
duduk tenang melipat kedua tangannya di depan dadanya, di sudut rumah
seorang kawan, di suatu malam, di Madinah Gaza. Wajahnya yang manis
menyembul cantik dari balik jilbab hitamnya. Matanya yang besar
memancarkan sinar kesabaran seorang perempuan yang berjuang menahan
sakit dan penderitaan karena kanker ganas di payudaranya.
Dada
perempuan berusia 39 tahun yang ditutupi jilbab dan kedua tangannya itu
sudah “tipis.” Empat kali operasi pengangkatan kanker serta 20 kali
kemoterapilah yang menyebabkan tipisnya dadanya. Pada operasi ke empat,
bekas-bekas luka di payudaranya harus “ditambal” dengan kulit dari
pahanya.
Dalam
pertemuan dengan relawan SA malam itu, ibu beranak lima itu sedang
bersiap melakukan perjalanan lagi ke luar Gaza untuk memeriksakan
benjolan dan cairan baru yang tumbuh lagi di bekas operasi yang sama.
“Kemana kau akan pergi memeriksakan benjolan di bekas payudaramu, Randa?”
“Tel Aviv. Di rumah sakit khusus kanker,” jawabnya perlahan. Tenang.
Kenapa
Tel Aviv? Itu “ibu kota Israel” yang sudah 64 tahun menjajah Palestina,
membunuhi dan memenjarakan warga Palestina yang ada di Tepi Barat
Sungai Yordan, yang mengebom, meroket dan merobek-robek tubuh bayi,
anak-anak sampai nenek-nenek di Gaza! Bukankah pada pergantian tahun
2008 – 2009 lalu orang-orang Zionis di Tel Aviv itu yang menghujani
negerimu Gaza dengan segala persenjataan canggih yang mereka dapat dari
Amerika Serikat, menyiramkan bom fosfor putih yang dilarang oleh semua
konvensi internasional, sehingga membunuh dan membakar begitu banyak
orang Gaza?
Pada
22 hari 22 malam Perang Furqan itu, air, tanah dan udara Gaza dipenuhi
serbuk putih beracun yang kemudian menyebabkan ibu-ibu keguguran,
bayi-bayi cacat, dan orang-orang yang semula sehat seperti Randa
kemudian menderita kanker dan berbagai penyakit degeneratif ganas
lainnya.
“Betul.
Bahkan, aku mulai menderita kanker empat bulan sesudahnya. Dokter
bilang, kankerku disebabkan racun kimiawi dari bom fosfor putih itu,”
kata Randa menghela nafas.
“Lalu kenapa kau berobat ke Tel Aviv?”
“Karena
tidak ada fasilitas pengobatan untukku di Gaza sesudah Zionis mengepung
kami selama lima tahun ini. Kau lihat sendiri, Gaza mengalami krisis
listrik dan obat-obatan,” jawab Randa. “Tidak ada rumah sakit yang bisa
menangani kondisiku di Gaza ini. Maka, Tel Aviv.”
“Kenapa
bukan Kairo? Meskipun sulit untukmu menembus pintu perbatasan Rafah
(yang menghubungkan Gaza dengan Mesir), setidaknya kau tidak harus
berobat di tempat mereka yang justru membuatmu, dan banyak orang Gaza
lainnya, sakit!”
“Itu
betul. Tapi Kairo terlalu jauh. Butuh enam jam perjalanan dari Rafah ke
Kairo. Aku masih punya anak-anak yang kecil, jadi aku tidak mungkin
berobat ke Kairo,” ujar ibunda Sarah (14 tahun), Usamah (13 tahun), Aya
(11 tahun), Bilal (7 tahun) dan Maryam (5 tahun) itu.
Dihinakan
Bukan itu saja. Tel Aviv mungkin lebih dekat dari Gaza, tapi perjalanan melewati checkpoints militer
Zionis Israel yang harus ditempuh Randa untuk setiap kali berobat
dengan ditemani seorang kerabat perempuannya, sungguh tidak mudah. Pada
suatu kali, tentara-tentara pengecut yang berjaga di salah satu checkpoint memaksanya turun dari kendaraan untuk menggeledahnya.
Harap
diketahui, semua orang Zionis Israel takut kepada orang Gaza – dari
bayi hingga nenek-nenek – dan mencurigai semua orang Gaza sebagai
penyelundup senjata.
“Kukatakan,
aku sakit. Aku ke Tel Aviv untuk berobat,” tutur Randa dengan nada
biasa. “Tapi mereka tidak percaya. Aku katakan, aku ini sakit kanker!
Mereka tidak percaya. Dengan kasar mereka menyuruhku turun. Lalu aku
dibawa ke sebuah tempat, dan dipaksa membuka semua bajuku. Sampai salah
seorang mereka melihat bekas-bekas luka di dadaku. Barulah dia sadar.
Lalu berhenti menggeledah. Dan bilang, ‘I’m sorry’.”
Sabar
Ketika
menceritakan penghinaan tentara-tentara Zionis itu terhadapnya, Randa
tidak kemudian bercucuran airmata dan meratap-ratap. Nada suaranya tidak
jadi berubah. “Alhamdulillah,
semua ini baik,” tuturnya. “Ujian dari Allah ini pasti ada hikmahnya.
Insya-Allah ini membuat imanku lebih kuat, membuatku lebih bergegas
mendidik dan membesarkan anak-anak jadi orang-orang terbaik.”
Randa
dan suaminya, Abu Usamah, adalah dua orang sabar dari begitu banyak
orang sabar yang ditemui relawan SA di Gaza. Randa yang dilahirkan di
Mesir pada tahun 1973 lalu dibawa hijrah oleh ayah ibunya ke Aljazair
serta tinggal dan belajar di sana selama 20 tahun, mahir berbahasa
Prancis. Keluarga Randa kembali ke Palestina pada tahun 1995 dan setahun
kemudian Randa pun menikah dengan Abu Usamah, seorang perwira di
kepolisian Gaza.
Mereka
tinggal di sebuah rumah mungil yang mereka kontrak dengan harga US$ 350
sebulan. Sebelum sakitnya, Randa sibuk membantu suaminya mencukupi
kebutuhan rumah tangga dengan cara membuka salon perawatan rambut. Allah
menetapkan bahwa pada tahun 2008, beberapa waktu sebelum penyerangan
Zionis Israel ke Gaza, Randa sempat mengikuti seminar kesehatan wanita
dan belajar cara memeriksa payudara sendiri.
Pada
November 2009, hanya beberapa bulan sesudah penyerangan dengan bom
fosfor putih, Randa merasa ada yang tak biasa di payudara kirinya. Dia
menemukan bengkak dan sesuatu yang mirip kantong cairan di situ. Abu
Usamah membawanya ke rumah sakit untuk serangkaian pemeriksaan
laboratorium dan scanning. Mereka berutang untuk membayar seluruh biaya pemeriksaan ini.
Ganas
Hasil
pemeriksaan? Kanker. Randa harus menjalani mastektomi – pengangkatan
seluruh payudaranya. Diikuti dengan serangkaian kemoterapi. Dengan
sabar, Randa menjalani semua proses yang menyakitkan itu. Dia yakin,
Allah punya rencana terbaik. “Saya hanya berdoa bahwa Allah akan
membalas semua yang saya alami ini dengan pahala yang besar dan beratnya
timbangan kebaikan untuk kami di Akhirat nanti,” tuturnya perlahan.
Tak
lama sesudah operasinya, Randa berusaha kembali bekerja. Bahkan dengan
lebih bersemangat karena ingin segera bisa membayar utang-utangnya.
“Namun hanya dua setengah bulan sesudah operasi itu, saya menemukan lagi
bengkak cairan di tempat yang sama.”
Para
dokter dibuat terkaget-kaget oleh kecepatan kembalinya penyakit ini.
Maka diputuskanlah operasi pengangkatan yang kedua, yang juga memakan
biaya yang sama dengan operasi yang pertama yakni sekitar US$ 900. “Rasa
sakit di dada sesudah operasi yang pertama belum lagi hilang, saya
sudah harus dioperasi lagi."
Dokter
menyatakan, Randa harus menjalani lagi kemoterapi. Masalahnya,
pengobatan ini tidak ada di Gaza yang sudah bertahun-tahun mengalami
krisis medis. Sebelum bisa berbuat apa-apa, Allah mentaqdirkan bahwa
kembali muncul bengkak cairan yang sebenarnya kanker itu di tempat yang
sama dengan pembedahan yang ke dua.
“Dokter
di Gaza menyatakan, saya tidak mungkin diobati di sini. Tapi ada rumah
sakit yang memiliki perawatan lengkap... di Tel Aviv. Maka, mau tidak
mau, saya harus pergi ke sana. Di sana, saya harus memulai semua proses
ini dari awal, mulai dari pemeriksaan sampai pembedahan berikutnya.”
Randa
pergi bersama salah seorang kerabat perempuannya, karena suaminya yang
perwira polisi itu tidak mungkin memasuki daerah Palestina yang dijajah
Zionis Israel. “Dokter-dokter di Tel Aviv memutuskan 20 sesi kemoterapi.
Sakit luar biasa. Semua rambut, bahkan alis mata saya pun rontok
habis.”
Sekitar
tiga bulan sesudah kemoterapi, ketika bengkak berisi cairan itu mulai
mengecil, dilakukanlah operasi yang ke tiga. Namun Allah mentaqdirkan
bahwa tiga bulan lagi sesudah itu, terjadi lagi pembengkakan di tempat
yang sama.
“Subhanallah, Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah yang menghendaki semua ini, dan semoga Allah
menjadikan semua ini sebuah jalan untuk menambah timbangan pahala bagi
kami,” tutur Randa.
Maka
dokter memutuskan untuk sekali lagi melakukan operasi – sedemikian rupa
sehingga payudara Randa berubah menjadi ‘lapangan’ yang bukan saja
tipis dan cekung tapi bahkan tak memiliki cukup kulit untuk menutupi
bekas operasinya. Maka dokter mengambil jaringan dari paha Randa untuk
“menambal” dadanya. Semua rasa sakit itu ditanggung Randa dengan
berusaha terus sabar, termasuk ketika dokter menambahkan enam kali sesi
kemoterapi lagi sesudah operasi ke empat itu.
Pada
tanggal 29 April 2012 yang lalu, ketika relawan SA masih berada di
Gaza, Randa harus kembali ke Tel Aviv untuk pemeriksaan laboratorium
dan scanning yang ke sekian kalinya.
Kanker itu ternyata sudah kembali lagi.
“Semoga Allah mengampuni kami,” desah Randa.
Ketika
laporan ini ditulis, pertengahan Mei 2012, Randa tengah berada di rumah
sakit di Tel Aviv – menjalani operasinya yang ke lima!
Terkubur Utang
Pada
masa-masa pengobatan di bulan Mei 2010, suami Randa memutuskan untuk
membeli sebuah flat kecil di lantai delapan sebuah gedung di kota Gaza,
agar tidak usah lagi mengontrak terus menerus. Dananya dari mana?
Dipinjam dari Bank Islam Palestina dengan cara murabahah – separuh gaji
Munir dipotong setiap bulannya untuk mencicil rumah. Rumah baru akan
lunas pada tahun 2017.
“Sungguh
tidak mudah, membiayai lima anak dengan separuh gaji sementara
pengobatan saya juga luar biasa memakan biaya,” tutur Randa. Selama dua
setengah tahun berobat ini, Randa harus melakukan 43 kali perjalanan
dari Gaza ke Tel Aviv, dan setiap kali perjalanan membutuhkan dana
setidaknya US$ 350.
“Sekarang ini, utang kami sudah menumpuk sampai belasan ribu dollar dan mereka yang meminjami sudah mulai kehilangan kesabaran.”
Apakah
Randa tidak ingin hijrah saja dari semua kesulitan ini dan meninggalkan
Gaza? Dengan wajah seperti syok, Randa menggeleng. “Tidak! Ini tanah
air kami. Ini rumah kami. Ini tanah yang diberkahi Allah.”
Sekarang
ini, Randa dan suaminya berniat menjual rumah mereka untuk membiayai
mereka berdua pergi ke tanah suci Makkah Al-Mukaramah. “Kami ingin
beribadah di sana, kami ingin minum air zamzam, dan insya-Allah di sana
saya akan sembuh karena kata Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam, zamzam memberikan manfaat sebagaimana diniatkan peminumnya.”
“Aku
tidak takut mati, karena aku percaya bahwa apa yang ada di sisi Allah
adalah kebaikan yang abadi,” tutur Randa. “Saya hanya berharap bahwa
sebelum mati, aku dan suamiku dapat pergi haji dan terbebas dari
himpitan utang-utang yang akan mencegah langkah kami memasuki Syurga.”* (Sahabatalaqsha.com)
Sumber : Sahabat Al-AqshaRed: Administrator |
Senin, 21 Mei 2012
Kanker Ganas karena Bom Fosfor Putih, Randa Tak Takut Mati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar