Menonton televisi (ilustrasi)
Kamis, 25 Agustus 2011 16:38 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
Televisi sama halnya seperti radio, surat kabar, dan majalah. Semua itu
hanyalah alat atau media yang digunakan untuk berbagai maksud dan
tujuan sehingga kita tidak dapat mengatakannya baik atau buruk, halal
atau haram. Segalanya tergantung pada tujuan dan materi acaranya.
Seperti
halnya pedang, di tangan mujahid ia adalah alat untuk berjihad; dan
bila di tangan perampok, maka pedang itu merupakan alat untuk melakukan
tindak kejahatan. Oleh karenanya sesuatu dinilai dari sudut
penggunaannya, dan sarana atau media dinilai sesuai tujuan dan
maksudnya.
Televisi dapat saja menjadi media pembangunan dan
pengembangan pikiran, ruh, jiwa, akhlak, dan kemasyarakatan. Demikian
pula halnya radio, surat kabar, dan sebagainya. Tetapi di sisi lain,
televisi dapat juga menjadi alat penghancur dan perusak. Semua itu
kembali kepada materi acara dan pengaruh yang ditimbulkannya.
Dapat
saya katakan bahwa media-media ini mengandung kemungkinan baik, buruk,
halal, dan haram. Seperti saya katakan sejak semula bahwa seorang
Muslim hendaknya dapat mengendalikan diri terhadap media-media seperti
ini, sehingga dia menghidupkan radio atau televisi jika acaranya berisi
kebaikan, dan mematikannya bila berisi keburukan.
Lewat media
ini seseorang dapat menyaksikan dan mendengarkan berita-berita dan
acara-acara keagamaan, pendidikan, pengajaran, atau acara lainnya yang
dapat diterima (tidak mengandung unsur keburukan/keharaman). Sehingga
dalam hal ini anak-anak dapat menyaksikan gerakan-gerakan lincah dari
suguhan hiburan yang menyenangkan hatinya atau dapat memperoleh manfaat
dari tayangan acara pendidikan yang mereka saksikan.
Namun
begitu, ada acara-acara tertentu yang tidak boleh ditonton, seperti
tayangan film-film Barat yang pada umumnya merusak akhlak. Karena di
dalamnya mengandung unsur-unsur budaya dan kebiasaan yang bertentangan
dengan akidah Islam yang lurus. Misalnya, film-film itu mengajarkan
bahwa setiap gadis harus mempunyai teman kencan dan suka berasyik
masyuk.
Kemudian hal itu dibumbui dengan bermacam-macam
kebohongan, dan mengajarkan bagaimana cara seorang gadis berdusta
terhadap keluarganya, bagaimana upayanya agar dapat bebas keluar rumah,
termasuk memberi contoh bagaimana membuat rayuan dengan kata-kata yang
manis. Selain itu, jenis film-film ini juga hanya berisikan kisah-kisah
bohong, dongeng-dongeng khayal, dan semacamnya. Singkatnya, film
seperti ini hanya menjadi sarana untuk mengajarkan moral yang rendah.
Secara
objektif saya katakan bahwa sebagian besar film tidak luput dari sisi
negatif seperti ini, tidak sunyi dari adegan-adegan yang merangsang
nafsu seks, minum khamar, dan tari telanjang. Mereka bahkan berkata,
"Tari dan dansa sudah menjadi kebudayaan dalam dunia kita, dan ini
merupakan ciri peradaban yang tinggi. Wanita yang tidak belajar
berdansa adalah wanita yang tidak modern. Apakah haram jika seorang
pemuda duduk berdua dengan seorang gadis sekedar untuk bercakap-cakap
serta saling bertukar janji?"
Inilah yang menyebabkan orang
yang konsisten pada agamanya dan menaruh perhatian terhadap akhlak
anak-anaknya melarang memasukkan media-media seperti televisi dan
sebagainya ke rumahnya. Sebab mereka berprinsip, keburukan yang
ditimbulkannya jauh lebih banyak daripada kebaikannya, dosanya lebih
besar daripada manfaatnya, dan sudah tentu yang demikian adalah haram.
Lebih-lebih media tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
jiwa dan pikiran, yang cepat sekali menjalarnya, belum lagi waktu yang
tersita olehnya dan menjadikan kewajiban terabaikan.
Tidak
diragukan lagi bahwa hal inilah yang harus disikapi dengan hati-hati,
ketika keburukan dan kerusakan sudah demikian dominan. Namun cobaan ini
telah begitu merata, dan tidak terhitung jumlah manusia yang tidak lagi
dapat menghindarkan diri darinya, karena memang segi-segi positif dan
manfaatnya juga ada. Karena itu, yang paling mudah dan paling layak
dilakukan dalam menghadapi kenyataan ini adalah sebagaimana yang telah
saya katakan sebelumnya, yaitu berusaha memanfaatkan yang baik dan
menjauhi yang buruk di antara film bentuk tayangan sejenisnya.
Hal
ini dapat dihindari oleh seseorang dengan jalan mematikan radio atau
televisinya, menutup surat kabar dan majalah yang memuat gambar-gambar
telanjang yang terlarang, dan menghindari membaca media yang memuat
berita-berita dan tulisan yang buruk.
Manusia adalah mufti
bagi dirinya sendiri, dan dia dapat menutup pintu kerusakan dari
dirinya. Apabila ia tidak dapat mengendalikan dirinya atau keluarganya,
maka langkah yang lebih utama adalah jangan memasukkan media-media
tersebut ke dalam rumahnya sebagai upaya preventif (saddudz dzari'ah).
Inilah pendapat saya mengenai hal ini, dan Allahlah Yang Maha Memberi Petunjuk dan Memberi Taufiq ke jalan yang lurus.
Kini
tinggal bagaimana tanggung jawab negara secara umum dan tanggung jawab
produser serta seluruh pihak yang berkaitan dengan media-media
informasi tersebut. Karena bagaimanapun, Allah akan meminta
pertanggungjawaban kepada mereka terhadap semua itu. Maka hendaklah
mereka mempersiapkan diri sejak sekarang.
Redaktur: cr01
Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer