Senin, 21 Mei 2012

Rasan-rasan. . . . .


edisi mei
Ketika tiga puluh tahun lalu kami memasuki kampung tempat kami sekaramg tinggal, suasananya masih “ndeso”. Kalau malam jalan-jalan gelap, jalan belum tertata rapi dan kemanapun masih rawan. Beberapa waktu kemudian pengurus RT dan RW memutuskan untuk mengadakan ronda. Tujuannya untuk keamanan, mengakrabkan warga dan mengumpulkan uang jimpitan. Uang jimpitan hanya diisi recehan sisa belanja.
Alhamdulillah. . . sampai saat ini ronda berjalan lancar. Dan kini. . . Jalan-jalan sudah terang dan tertata rapi. Untuk menemani bapak-bapak digardu sudah ada televisi , pengurus juga sudah punya seperangkat meja dan kursi untuk dipakai warga yang punya hajat. Semua itu berasal dari yang jimpitan yang dikelola dengan amanah. Ditambah lagi sikap gotong royong warga, maka banyak manfaat yang dirasakan warga.
Untuk itu marilah kita semua bersikap amanah di setiap tugas dikantor pemerintah; dikepengurusan lembaga maupun dalam kepengurusan sosial. Sumber daya yang terbatas sekalipun asal dikelola dengan amanah Insya’ Alloh akan migunani dan mikolehi. Dan perlahan namun pasti kesejahteraan rakyat bukanlah impian belaka.
Semoga. Amin Amin Amin

Sri lestari
Ibu Rumah Tangga


PengalamankuSalak Muda Yang Sepet Bisa Mampetkan Diare


edisi mei

Sahabat …. Pasti pernah diare ya… rasanya pun pasti tak tahan juga khan ?
Kemaren aku juga kena diare, mungkin karena kelelahan atau habis kehujanan terus masuk angin. Biasanya, aku biarkan saja sembuh sendiri asal makan dan minum yang banyak sehari sembuh.

Lha … ini kok diarenya agak bandel, lain dari biasanya sampe dua hari belum ada tanda-tanda mampet, malam-malam juga dak mau kompromi. Badan jadi agak meriang. Pikirku, kalo siang sampai sore ini belum mampet juga harus ke dokter takut ada apa-apa. Sengaja aku tidak minum obat apapun. Kalo tidak terpaksa banget aku tidak minum obat kimia. Aku cari-cari bahan alami, belum dapet juga.

Siangnya pulang dariberjualan, suamiku bawa oleh-oleh dari mas Mardi, temennya. Salak dan manggis. Aku mencicipi salak … kok masih sepet. Alhamdulillah ini dia obatnya, ucapku dalam hati. Dengan membaca basmallah kumakan beberapa salak. Ku ulangi lagi setelah beberapa jam. Dan Alamdulillah rasa mules berkurang dan diarepun mampet.

Untuk mas Mardi salaknya kutrima banget. Aku tidak perlu ke dokter dan minum obat kimia.
Sahabat bisa mencobanya …. Semoga bermanfaat.


Sri Lestari
Ibu Rumah Tangga

Diaryku ….


edisi mei
Aku ingin bahagia.
Tetangga sebelah kiriku punya anak balita bernama Iqbal. Tetangga sebelah kananku juga punya balita, namanya Deka. Keduanya adalah anak yang ganteng dan ceria. Usia mereka Cuma selisih setahun, Deka lebih tua. Pagi-pagi mereka sudah maen. Gentian saling nyamperin. Sorenya sambil makan, keduanya bermain lagi. Kalau sore biasanya balitanya tambah. Seru dech suasananya.
Mungkin karena anak laki ya … biasanya awalnya Iqbal dan Deka main baek-baek saja, tapi karena entah karena rebutan mainan atau apa membuat mereka bertengkar, saling tampar bahkan saling pukul. Kalau salah satu ada yang nangis barulah selesai. Begitu terus. Tapi mereka tidak bosan untuk maen lagi. Mereka gampang banget lupa kejadian yang barusan terjadi apalagi yang kemaren. Habis berantem mereka bisa tertawa bersama lagi. Asyik-asyikan lagi. Aku yang mengganti jadi malu pada mereka. Aku yang sudah kepala 4, kalo marah awet. Mangkelnya sulit hilang. Walo kepada suami dan anak-anak sendiri. Wah… wah… bodohnya aku nyimpen-nyimpen rasa marah yang ujungnya jadi sumber penyakit.
Suatu sore aku ngaji Tauziah dari Ustadzah kena banget. Untung aja gak sempat K.O…hi…hi…hi…. karena pas kena ulu hatiku. Ustadzah bilang orang yang paling bahagia adalah orang yang melupakan kesalahan orang lain. Sebaliknya orang yang sengsara/celaka adalah orang yang mengingat-ingat kesalahan orang lain. Ternyata selama ini aku salah besar dalam memandang bahagia dan sengsara. Akupun bertekad tidak ingin jadi orang sengsara apalagi celaka. Aku ingin bahagia. Hidup sekali harus bagagia, karena itu tidak sulit. Aku juga belajar dari Iqbal yang gampang melupakan kesalahan teman. Aku tahu Iqbal lebih sering dijahilin Deka. Usahaku yang pertama, melupakan kesalahan kakakku sendiri, juga anaknya. Setelah ku coba ternyata enak …. Ada beban yang berkurang. Perlahan namun pasti akan ku kikis sifat dendam dan amarahku. Maafkan aku ya suamiku … anak-anakku … selama ini aku terlalu banyak marah yang tidak karuan dan menyakiti perasaan kalian ….
Terimakasih juga kepada Ustadzah Supiyati atas tausiahnya. Aku ingin bahagia …. Bahagia …. Bahagia.


Sri Lestari
Ibu Rumah Tangga

Diaryku …


edisi mei
Kali ini giliran cerita tentang sibungsu Azis. Maaf bukan aku membandingkan, realitasnya sifat pemurah si bungsu agak lebih dari si sulung. Ketika dia masih kecil (si bungsu kelas 3 SD) tanya kepadaku tentang makanan kesukaan. Ya, aku jawab suka nasi gudeg lauk rempela ati, dari Gudeg yang sudah terkenal di Jogja. Ku kira ini pertanyaan biasa saja. Ternyata anakku menyimpan dalam memorinya …. dan inilah kisah mengharukan itu :

  • Kelas 5 dia mewakili sekolahnya lomba siswa berprestasi. Disana dapat snack dan kotak makan besar. Tetapi yang dimakan hanyalah snacknya saja tahu sebabnya? Karena menu yang ada dikotak kabetulan makanan kesukaan Uminya. Dia ingin makan di rumah saja sama Umi, biar Umi ngerasain. Terharu banget, akupun makan bersamanya. Alhamdulillah … terima kasih Alloh kau berikan aku anak yang berbakti. Alhamdulillah dia jadi juara 1 siswa berprestasi tingkat kecamatan. Sama dengan kakaknya dulu.

Yang ini tidak kalah serunya
  • Kalau tidak salah tahun 2008 atau 2009 ada gerakan one man one dollar dari sebuah parpol untuk solidaritas rakyat Palestina. Anakku yang masih SD dan uang sakunya pas-pasan bisa menabung dan mendonasikan 100.000 untuk rakyat Palestina. Tahu enggak … (malu aku) uang yang ku donasikan lebih kecil dari anakku.

  • Dia punya sahabat, mau lomba catur mewakili sekolahnya. Tapi dilihatnya sepatu sahabatnya itu kok enggak layak baget dipakai apalagi lomba mewakili sekolahnya. Dia menghitung-hitung tabungannya, kemudian menanyakan ukuran sepatu sahabatnya. Jadilah anakku membelikan sepatu untuk sahabatnya 200.000, kebetulan discount jadi uang segitu bisa buat beli sepatu bermerek.
Aku tidak bohong, sepatu yang dipakainya sendiri hanyalah bekas kakaknya karena sesak (kekecilan) yang masih layak dipakai. Aku tahu dia sendiri sebenarnya ingin sepatu yang akan dikasih temannya itu.

Subhanallah … anak kelas 2 SMP sudah mampu berbuat itsar. Dia menyerahkan sepatu sebelum besoknya dipakai lomba. Dia bilang ini amanah dari seseorang untuknya. Besok siangnya dengan riang anakku mengabarkan kalo temanya tadi juara 2. Alhamdulillah ….

Sebenarnya masih banyak yang akan ku ceritakan tapi hal-hal itu diatas kuanggap fenomenal. Pesan Umi …. Tetap Istiqomah ya le …. Insya Allah akan banyak yang tertolong akan kemurahanmu. Sahabatku, demikian sebagian cerita dari kedua anakku. Kini, keduanya bersiap untuk UN dan SNMPTN. Do’akan mereka dapat meraih yang diimpikannya. Amin … Amin … Amin.

Diaryku ….

edisi mei

Belajar pada anak-anakku. Dua bujangku kini telah remaja. Anak pertamaku, Kamal namanya. Adiknya Aziz, Abdillah Azis lengkapnya. Keduanya punya banyak kesamaan. Hobi dan kecenderungannyapun hampir sama. Ada temanku bilang, punya 2 anak yang banyak kesamaannya lebih enak daripada yang mencolok perbedaannya. Insya Alloh akan akur sampai dewasa. Amin. Amin. Amin.
Kedua anakku adalah remaja sederhana dan tidak neko-neko. Prestasi disekolahnya pun cukup membanggakan. Untuk urusan agama, dibanding remaja lain, keduanya termasuk taat. Bahkan sikecil Azis, sejak kelas dua SMP sudah puasa Senin-Kamis, kalau ada udzur barulah bolong. Amang kakaknya “baru” kadang-kadang aja puasa. Aku tidak pernah memaksanya, tapi jika aku memintanya untuk puasa, pasti dia puasa juga. Amang ya … Aku lebih senang memanggilnya dengan Amang untuk si sulung. Ikut-ikutan waktu adiknya masih celat (cadhel) belum bisa memanggil Kamal, jadilah Amang. Bagiku lebih familier.
Aku bersyukur kepada Alloh SWT, keduanya punya sifat pemurah, akupun belajar terus kepada keduanya. Berikut ini contoh kemurahan anakku. Ku mulai dari si sulungn dulu ya ….
  • Dia meminjamkan seragam celana olahraganya kepada temannya yang kurang beruntung. Selama setahun dipinjaminya, terakhir untuk ujian akhir praktik. Temannya sangat berterima kasih bisa ikut pelajaran olahraga tanpa malu karena slewah (berbeda) dengan temannya dan bagus.

  • Amang punya dua sepatu untuk sekolah. Ada temannya terpilih ikut lomba tonti, sayang sepatunya tidak mau dikompromi lagi untuk dipakai latihan. Karena belum ada kesempatan untuk beli, dipinjemnya sepatu Amang. Tanpa keberatan, dipinjamkannya sepatu kesayangannya untuk latihan tonti selama sebulan … sayang sekolahnya belum kecipratan juara.

  • Ada lagi temannya yang kurang mampu. Tidak ada kendaraan untuk sekolah, naik angkot boros, jalan kaki capek. Lagi-lagi anakku menjadi solusi bagi temannya. Setelah nganter adiknya, disamperin juga teman sekalian pulang diantarnya juga. Ini terjadi berbulan-bulan, sampai akhirnya mereka pisah karena beda jurusan.

Untuk contoh-contoh diatas, si sulung melakukannya tanpa ada penyesalan dan gerutu. Setahuku dia ikhlas saja. Mungkin bagi orang lain hal diatas adalah hal sepele, tapi bagiku merupakan hal yang membanggakan. Inilah benih-benih kepedulian, kasih sayang yang harus dipupuk. Umi salut anakku, pesen Umi tetap Istiqomah ya le …. Orang yang pemurah buanyaak sahabatnya.
Untuk cerita si bungsu diedisi berikutnya ya …..
Salam . . . . . .

Sri Lestari
Ibu Rumah Tangga

Kanker Ganas karena Bom Fosfor Putih, Randa Tak Takut Mati



Rabu, 16 Mei 2012
Beginilah cara Zionis Israel menyiramkan bom fosfor putih ke atas rumah-rumah di Gaza. foto: Occupied Palestine
JALUR GAZA, Rabu (Sahabatalaqsha.com): Randa duduk tenang melipat kedua tangannya di depan dadanya, di sudut rumah seorang kawan, di suatu malam, di Madinah Gaza. Wajahnya  yang manis menyembul cantik dari balik jilbab hitamnya. Matanya yang besar memancarkan sinar kesabaran seorang perempuan yang berjuang menahan sakit dan penderitaan karena kanker ganas di payudaranya.
Dada perempuan berusia 39 tahun yang ditutupi jilbab dan kedua tangannya itu sudah “tipis.” Empat kali operasi pengangkatan kanker serta 20 kali kemoterapilah yang menyebabkan tipisnya dadanya. Pada operasi ke empat, bekas-bekas luka di payudaranya harus “ditambal” dengan kulit dari pahanya.
Dalam pertemuan dengan relawan SA malam itu, ibu beranak lima itu sedang bersiap melakukan perjalanan lagi ke luar Gaza untuk memeriksakan benjolan dan cairan baru yang tumbuh lagi di bekas operasi yang sama.
“Kemana kau akan pergi memeriksakan benjolan di bekas payudaramu, Randa?”
“Tel Aviv. Di rumah sakit khusus kanker,” jawabnya perlahan. Tenang.
Kenapa Tel Aviv? Itu “ibu kota Israel” yang sudah 64 tahun menjajah Palestina, membunuhi dan memenjarakan warga Palestina yang ada di Tepi Barat Sungai Yordan, yang mengebom, meroket dan merobek-robek tubuh bayi, anak-anak sampai nenek-nenek di Gaza! Bukankah pada pergantian tahun 2008 – 2009 lalu orang-orang Zionis di Tel Aviv itu yang menghujani negerimu Gaza dengan segala persenjataan canggih yang mereka dapat dari Amerika Serikat, menyiramkan bom fosfor putih yang dilarang oleh semua konvensi internasional, sehingga membunuh dan membakar begitu banyak orang Gaza?
Pada 22 hari 22 malam Perang Furqan itu, air, tanah dan udara Gaza dipenuhi serbuk putih beracun yang kemudian menyebabkan ibu-ibu keguguran, bayi-bayi cacat, dan orang-orang yang semula sehat seperti Randa kemudian menderita kanker dan berbagai penyakit degeneratif ganas lainnya.
“Betul. Bahkan, aku mulai menderita kanker empat bulan sesudahnya. Dokter bilang, kankerku disebabkan racun kimiawi dari bom fosfor putih itu,” kata Randa menghela nafas.
“Lalu kenapa kau berobat ke Tel Aviv?”
“Karena tidak ada fasilitas pengobatan untukku di Gaza sesudah Zionis mengepung kami selama lima tahun ini. Kau lihat sendiri, Gaza mengalami krisis listrik dan obat-obatan,” jawab Randa. “Tidak ada rumah sakit yang bisa menangani kondisiku di Gaza ini. Maka, Tel Aviv.”
“Kenapa bukan Kairo? Meskipun sulit untukmu menembus pintu perbatasan Rafah (yang menghubungkan Gaza dengan Mesir), setidaknya kau tidak harus berobat di tempat mereka yang justru membuatmu, dan banyak orang Gaza lainnya, sakit!”
“Itu betul. Tapi Kairo terlalu jauh. Butuh enam jam perjalanan dari Rafah ke Kairo. Aku masih punya anak-anak yang kecil, jadi aku tidak mungkin  berobat ke Kairo,” ujar ibunda Sarah (14 tahun), Usamah (13 tahun), Aya (11 tahun), Bilal (7 tahun) dan Maryam (5 tahun) itu.
Dihinakan
Bukan itu saja. Tel Aviv mungkin lebih dekat dari Gaza, tapi perjalanan melewati checkpoints militer Zionis Israel yang harus ditempuh Randa untuk setiap kali berobat dengan ditemani seorang kerabat perempuannya, sungguh tidak mudah. Pada suatu kali, tentara-tentara pengecut yang berjaga di salah satu checkpoint memaksanya turun dari kendaraan untuk menggeledahnya.
Harap diketahui, semua orang Zionis Israel takut kepada orang Gaza – dari bayi hingga nenek-nenek – dan mencurigai semua orang Gaza sebagai penyelundup senjata.
“Kukatakan, aku sakit. Aku ke Tel Aviv untuk berobat,” tutur Randa dengan nada biasa. “Tapi mereka tidak percaya. Aku katakan, aku ini sakit kanker! Mereka tidak percaya. Dengan kasar mereka menyuruhku turun. Lalu aku dibawa ke sebuah tempat, dan dipaksa membuka semua bajuku. Sampai salah seorang mereka melihat bekas-bekas luka di dadaku. Barulah dia sadar. Lalu berhenti menggeledah. Dan bilang, ‘I’m sorry’.”

Randa dan si Bungsu Maryam. foto: Pribadi
Sabar
Ketika menceritakan penghinaan tentara-tentara Zionis itu terhadapnya, Randa tidak kemudian bercucuran airmata dan meratap-ratap. Nada suaranya tidak jadi berubah. “Alhamdulillah, semua ini baik,” tuturnya. “Ujian dari Allah ini pasti ada hikmahnya. Insya-Allah ini membuat imanku lebih kuat, membuatku lebih bergegas mendidik dan membesarkan anak-anak jadi orang-orang terbaik.”
Randa dan suaminya, Abu Usamah, adalah dua orang sabar dari begitu banyak orang sabar yang ditemui relawan SA di Gaza. Randa yang dilahirkan di Mesir pada tahun 1973 lalu dibawa hijrah oleh ayah ibunya ke Aljazair serta tinggal dan belajar di sana selama 20 tahun, mahir berbahasa Prancis. Keluarga Randa kembali ke Palestina pada tahun 1995 dan setahun kemudian Randa pun menikah dengan Abu Usamah, seorang perwira di kepolisian Gaza.
Mereka tinggal di sebuah rumah mungil yang mereka kontrak dengan harga US$ 350 sebulan. Sebelum sakitnya, Randa sibuk membantu suaminya mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan cara membuka salon perawatan rambut. Allah menetapkan bahwa pada tahun 2008, beberapa waktu sebelum penyerangan Zionis Israel ke Gaza, Randa sempat mengikuti seminar kesehatan wanita dan belajar cara memeriksa payudara sendiri.
Pada November 2009, hanya beberapa bulan sesudah penyerangan dengan bom fosfor putih, Randa merasa ada yang tak biasa di payudara kirinya. Dia menemukan bengkak dan sesuatu yang mirip kantong cairan di situ. Abu Usamah membawanya ke rumah sakit untuk serangkaian pemeriksaan laboratorium dan scanning. Mereka berutang untuk membayar seluruh biaya pemeriksaan ini.
Ganas
Hasil pemeriksaan? Kanker. Randa harus menjalani mastektomi – pengangkatan seluruh payudaranya. Diikuti dengan serangkaian kemoterapi. Dengan sabar, Randa menjalani semua proses yang menyakitkan itu. Dia yakin, Allah punya rencana terbaik. “Saya hanya berdoa bahwa Allah akan membalas semua yang saya alami ini dengan pahala yang besar dan beratnya timbangan kebaikan untuk kami di Akhirat nanti,” tuturnya perlahan.
Tak lama sesudah operasinya, Randa berusaha kembali bekerja. Bahkan dengan lebih bersemangat karena ingin segera bisa membayar utang-utangnya. “Namun hanya dua setengah bulan sesudah operasi itu, saya menemukan lagi bengkak cairan di tempat yang sama.”
Para dokter dibuat terkaget-kaget oleh kecepatan kembalinya penyakit ini. Maka diputuskanlah operasi pengangkatan yang kedua, yang juga memakan biaya yang sama dengan operasi yang pertama yakni sekitar US$ 900. “Rasa sakit di dada sesudah operasi yang pertama belum lagi hilang, saya sudah harus dioperasi lagi."
Dokter menyatakan, Randa harus menjalani lagi kemoterapi. Masalahnya, pengobatan ini tidak ada di Gaza yang sudah bertahun-tahun mengalami krisis medis. Sebelum bisa berbuat apa-apa, Allah mentaqdirkan bahwa kembali muncul bengkak cairan yang sebenarnya kanker itu di tempat yang sama dengan pembedahan yang ke dua.

Areej, salah satu bocah Gaza yang terkena efek langsung bom Fosfor Putih. foto: Occupied Palestine
“Dokter di Gaza menyatakan, saya tidak mungkin diobati di sini. Tapi ada rumah sakit yang memiliki perawatan lengkap... di Tel Aviv. Maka, mau tidak mau, saya harus pergi ke sana. Di sana, saya harus memulai semua proses ini dari awal, mulai dari pemeriksaan sampai pembedahan berikutnya.”
Randa pergi bersama salah seorang kerabat perempuannya, karena suaminya yang perwira polisi itu tidak mungkin memasuki daerah Palestina yang dijajah Zionis Israel. “Dokter-dokter di Tel Aviv memutuskan 20 sesi kemoterapi. Sakit luar biasa. Semua rambut, bahkan alis mata saya pun rontok habis.”
Sekitar tiga bulan sesudah kemoterapi, ketika bengkak berisi cairan itu mulai mengecil, dilakukanlah operasi yang ke tiga. Namun Allah mentaqdirkan bahwa tiga bulan lagi sesudah itu, terjadi lagi pembengkakan di tempat yang sama.
SubhanallahAlhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menghendaki semua ini, dan semoga Allah menjadikan semua ini sebuah jalan untuk menambah timbangan pahala bagi kami,” tutur Randa.
Maka dokter memutuskan untuk sekali lagi melakukan operasi – sedemikian rupa sehingga payudara Randa berubah menjadi ‘lapangan’ yang bukan saja tipis dan cekung tapi bahkan tak memiliki cukup kulit untuk menutupi bekas operasinya. Maka dokter mengambil jaringan dari paha Randa untuk “menambal” dadanya. Semua rasa sakit itu ditanggung Randa dengan berusaha terus sabar, termasuk ketika dokter menambahkan enam kali sesi kemoterapi lagi sesudah operasi ke empat itu.
Pada tanggal 29 April 2012 yang lalu, ketika relawan SA masih berada di Gaza, Randa harus kembali ke Tel Aviv untuk pemeriksaan laboratorium dan scanning yang ke sekian kalinya.
Kanker itu ternyata sudah kembali lagi.
“Semoga Allah mengampuni kami,” desah Randa.
Ketika laporan ini ditulis, pertengahan Mei 2012, Randa tengah berada di rumah sakit di Tel Aviv – menjalani operasinya yang ke lima!
Terkubur Utang
Pada masa-masa pengobatan di bulan Mei 2010, suami Randa memutuskan untuk membeli sebuah flat kecil di lantai delapan sebuah gedung di kota Gaza, agar tidak usah lagi mengontrak terus menerus. Dananya dari mana? Dipinjam dari Bank Islam Palestina dengan cara murabahah – separuh gaji Munir dipotong setiap bulannya untuk mencicil rumah. Rumah baru akan lunas pada tahun 2017.
“Sungguh tidak mudah, membiayai lima anak dengan separuh gaji sementara pengobatan saya juga luar biasa memakan biaya,” tutur Randa. Selama dua setengah tahun berobat ini, Randa harus melakukan 43 kali perjalanan dari Gaza ke Tel Aviv, dan setiap kali perjalanan membutuhkan dana setidaknya US$ 350.
“Sekarang ini, utang kami sudah menumpuk sampai belasan ribu dollar dan mereka yang meminjami sudah mulai kehilangan kesabaran.”
Apakah Randa tidak ingin hijrah saja dari semua kesulitan ini dan meninggalkan Gaza? Dengan wajah seperti syok, Randa menggeleng. “Tidak! Ini tanah air kami. Ini rumah kami. Ini tanah yang diberkahi Allah.”
Sekarang ini, Randa dan suaminya berniat menjual rumah mereka untuk membiayai mereka berdua pergi ke tanah suci Makkah Al-Mukaramah. “Kami ingin beribadah di sana, kami ingin minum air zamzam, dan insya-Allah di sana saya akan sembuh karena kata Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam, zamzam memberikan manfaat sebagaimana diniatkan peminumnya.”
“Aku tidak takut mati, karena aku percaya bahwa apa yang ada di sisi Allah adalah kebaikan yang abadi,” tutur Randa. “Saya hanya berharap bahwa sebelum mati, aku dan suamiku dapat pergi haji dan terbebas dari himpitan utang-utang yang akan mencegah langkah kami memasuki Syurga.”* (Sahabatalaqsha.com)
Sumber : Sahabat Al-Aqsha
Red: Administrator

Salam Polisi Palestina untuk Polisi Indonesia



Kamis, 10 Mei 2012

Siswa Pusat Pendidikan Latihan Kepolisian Palestina. Polisi Palestina yang bermarkas di Jalur Gaza menunggu kunjungan silaturrahim Kepolisian Republik Indonesia. foto: Sahabat Al-Aqsha
JALUR GAZA, Kamis (Sahabatalaqsha.com): As-Salaamu’alaykum Polisi Indonesia... Kami mencintai kalian karena Allah!”
Teriakan salam itu disampaikan oleh sekelompok polisi Palestina berpakaian loreng biru tua dan muda, berbaret hitam, di depan kamera video Tim Amanah Indonesia (Sahabat Al-Aqsha). Mereka yang menyampaikan salam itu berasal dari Pasukan Khusus (kesatuan Brimobnya) Kepolisian Palestina.
Seorang instruktur latihan berbadan tinggi besar, berjenggot lebat, dan murah senyum, lalu menyampaikan harapan di depan kamera, “Insya Allah, dalam waktu tak lama lagi kita akan bersama-sama solat Masjidil Aqsha dalam keadaan merdeka!” Sambil tangannya menunjuk ke mural masjid suci itu di dinding di belakang mereka.
Sambutan yang ramah penuh persaudaraan sangat terasa, saat Tim Amanah Indonesia mengunjungi Markas Besar Kepolisian Palestina di Jalan ‘Umar Mukhtar, Madinah Gaza. Kami ditemani oleh Muqaddam (Ajun Komisaris Besar Polisi) Munir Abu Syanab, Kepala Humas Interpol Palestina, dan Muqaddam Nasser Abduh, Wakil Kepala Humas Mabes Kepolisian Palestina.
Belum sampai memasuki gedung utama markas kepolisian itu, seorang lelaki berbadan tegap, berkaos polo putih menyambut kami. “Maafkan saya, menyambut Anda mengenakan pakaian seperti ini, hari ini ada acara olah raga dan jalan-jalan santai,” kata lelaki itu sambil tersenyum. Ia adalah ‘Amid (Brigadir Jenderal Polisi) Amin Al-Batniji, Direktur Penerangan Kepolisian Palestina, yang langsung mengajak kami ke ruangannya.
Menurut berbagai laporan yang kami himpun, angka kriminalitas di Jalur Gaza yang penduduknya berjumlah 1,7 juta jiwa menurun sangat drastis, sejak kawasan ini dibebaskan dari seluruh kekuatan militer penjajah Zionis maupun kakitangannya tahun 2005.
Padahal, sejak tahun 2007, pengepungan yang dilakukan Zionis Israel terhadap Jalur Gaza telah melumpuhkan hampir seluruh kekuatan ekonomi wilayah itu.
Biasanya, kalau ekonomi sekarat, rakyat akan memberontak, dan kekacauan sosial, termasuk angka kejahatan akan meningkat. Tapi teori ini tidak berlaku di Gaza. Apa penjelasannya?
Menurut Brigjen Pol. Amin Al-Batniji, pengepungan dan ancaman fisik dari luar justeru telah memperkuat kepribadian masyarakat Gaza.
“Lebih dari itu, karena pemerintah Gaza adalah pemerintah Muslim yang menjalankan keislamannya, rakyat pelan-pelan semakin sadar bahwa Allah-lah Ar-Razaq, Yang Maha Memberi Rezeki,” demikian penjelasan Amin.
Pengepungan ini, menurutnya, justeru menyuburkan sikap sabar dan qanaah di kalangan masyarakat. “Kalau pemimpin dan rakyat sama-sama melaksanakan Islam dan mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah akan memberikan ketenangan dan keamanan. Aman itu milik Allah, bukan milik manusia,” jelas Amin.
Selain itu menurut Amin, Islam juga menumbuhkan persaudaraan yang positif. Masyarakat di Gaza yang sama-sama sedang dikepung musuh, jadi mudah saling menolong, terutama menolong mereka yang paling lemah secara ekonomi.
Salah seorang pejabat tinggi di Kementerian Dalam Negeri Palestina (kementerian yang membawahi kepolisian) menceritakan, bahwa pejabat seperti dirinya setiap bulan dipotong gajinya oleh pemerintah untuk membantu orang miskin di negeri itu.
“Setiap bulan Ramadhan, potongannya tambah besar,” tukasnya. Pejabat tinggi itu menjelaskan, rezeki para pejabat Palestina di Gaza justeru semakin berkah dengan pemotongan yang bisa sampai 30% itu.
Kunjungan dilanjutkan dengan berkeliling markas yang membentang dari tengah kota sampai ke pinggir pantai Gaza itu.
Di berbagai bagian bangunan, nampak bekas-bekas tembakan senjata-senjata pesawat tempur maupun helikopter Zionis Israel pada Perang Al-Furqan (akhir 2008 sampai awal 2009).
Lubang-lubang bekas peluru kaliber besar bertebaran di dinding-dinding bangunan, dan sengaja tidak diperbaiki. Di bagian lain markas itu, ada puluhan bom dalam berbagai ukuran dipamerkan. Ada beberapa yang besarnya lebih dari tubuh manusia dewasa. Ini adalah sebagian bahan peledak yang disiramkan Zionis kepada rakyat Gaza. “Supaya kami dan dunia tetap mengingat kejahatan Zionis Israel,” kata Muqaddam Nasser Abduh.
Sebagian bukti kejahatan Zionis Israel yang menyiramkan berton-ton bahan peledak ke atas warga sipil Palestina di Gaza. foto: Sahabat Al-Aqsha
Kita semua tentu ingat, pemandangan yang menyayat hati pada Perang Al-Furqan yang oleh Zionis disebut sebagai Operation Cast Lead (Operasi Timah Panas) itu, dalam 10 menit pertama jam 8 pagi, tanggal 27 Desember 2008, sekitar 200-an orang petugas kepolisian yang sedang apel pagi dibantai dengan berondongan senjata dan bom oleh pesawat-pesawat F-16 bikinan Amerika Serikat milik Zionis Israel.
Selain jenazah para polisi Palestina yang bergelimpangan, kita juga menyaksikan gambar-gambar polisi yang terluka parah mengacungkan jari telunjuknya sambil berkata, “Laa ilaaha illa Allah... Tiada Tuhan selain Allah...”
Pada penyerangan Zionis Israel itu, ikut juga mati syahid tiga pejabat tertinggi Kementerian Dalam Negeri, yaitu Mayjen Pol. Taufiq Jabir, Kepala Kepolisian Palestina; Muhammad Al-Ja’bari, Direktur Unit Keamanan dan Pengawalan; dan Sa’id Shiyam, Menteri Dalam Negeri-nya sendiri.
“Ini menunjukkan, bahwa para pejabat tinggi kami adalah yang pertama kali mengorbankan nyawanya bagi rakyat Palestina,” kata Muqaddam Munir Abu Syanab. “Mereka tidak bersembunyi di balik kedudukannya sebagai pejabat tinggi. Mereka semua mati syahid di lapangan saat menjalankan tugas.”
Nama-nama para polisi yang mati syahid dalam Perang Al-Furqan itu diabadikan dalam sebuah prasasti yang terletak di lapangan Markas Besar Pasukan Khusus Kepolisian Palestina.
Di atas nama-nama itu tertulis kalimat yang dikutip dari ayat Al-Quran surah Al-Ahzab ayat 23:
“Di antara orang-orang beriman (Mu’min) itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya).”
Jumlah anggota kepolisian Palestina yang bermarkas di Gaza saat ini sekitar 10 ribu orang. Secara umum menurut Brigjen Pol. Amin Al-Batniji, tidak ada kasus kriminalitas yang luar biasa.
“Justeru kami sebagai masyarakat sedang mengalami kejahatan kriminal yang dilakukan oleh penjajah atas kami semua,” katanya sambil tersenyum.
Namun demikian, Alhamdulillah, kata Amin keamanan dan ketertiban masyarakat semakin baik.
Kasus yang sesekali masih terus mengganggu adalah penyelundupan narkoba dan minuman keras dari kawasan yang dikuasai Zionis Israel dan Mesir. Rata-rata dalam setahun ada sekitar 20 orang yang ditangkap karena kasus ini.
Kasus kejahatan lain adalah pembunuhan akibat perkelahian. Misalnya, karena ada anggota keluarga yang berzina, lalu dibunuh. Ada juga pencurian emas dan barang-barang berharga, biasanya dilakukan oleh remaja.
Menurut berbagai perbincangan dengan masyarakat awam, secara umum, Gaza yang sekarang lebih aman dari Gaza sebelum dikepung oleh Zionis Israel.
Semakin banyak perempuan yang berhijab, menutup aurat sesuai tuntunan Islam, meskipun tidak ada undang-undang yang secara eksplisit mewajibkan hijab.
Dari hasil pengamatan selama tiga minggu Tim SA2Gaza berada di Gaza, perempuan dewasa yang nampak keluar rumah tanpa menutup aurat bisa dihitung dengan jari.
Secara umum tugas petugas kepolisian Palestina di Jalur Gaza meliputi pengaturan lalu-lintas, mencegah dan memberantas narkoba, melakukan berbagai investigasi, patroli keamanan di rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, dan lain-lain.
Menurut Kepala Interpol Palestina Mayjen Pol. Mahir Ar-Ramli, ketika Gaza belum dikepung Zionis Israel dan masih berada di bawah kekuasaan pemerintah Fatah, setiap dua malam selalu terjadi pemerkosaan, pembunuhan, dan perampokan.
Menurut Mayjen Pol Mahir, di masa itu Gaza dikuasai oleh Fatah, penguasa ketika itu adalah gabungan dari kelompok-kelompok yang selalu ingin memperbesar wilayah kekuasaannya masing-masing. Termasuk juga dengan cara melindungi kelompok-kelompok kejahatan.
“Warga yang memiliki rasa takut yang besar kepada Allah SWT, tidak akan melakukan kejahatan yang menyusahkan orang lain maupun dirinya sendiri,” kata Mahir.
Istirahat apel pagi, bergantian sajadah untuk solat dhuha. foto: Sahabat Al-Aqsha
Dalam kesempatan berkunjung ke Pusat Pendidikan dan Latihan Kepolisian Palestina, yang terletak di pinggir pantai yang indah, Tim SA2Gaza sempat menyaksikan para anggota polisi yang baru saja apel pagi, bergantian menggunakan sajadah untuk melaksanakan solat dhuha di lapangan.
Muqaddam Hisyam Al-Kariri, Wakil Direktur Pusdiklat Kepolisian Palestina, menjelaskan kepada Tim SA2Gaza selain dididik dan dilatih keterampilan profesional sebagai polisi, seluruh anggota kepolisian Palestina juga dididik ruhiyahnya secara sungguh-sungguh.
“Selain secara rutin mereka membaca dan memahami Al-Quran, salah satu kurikulum dasar pendidikan kami juga tafsir surah Al-Anfaal dan At-Taubah yang wajib difahami dan dihayati setiap anggota kami,” kata Muqaddam Hisyam di sela-sela latihan.
Dalam memperkuat sistem ketertiban dan keamanan masyarakat, kepolisian Palestina juga melakukan kerja sama penerangan dengan masjid-masjid, saluran televisi dan radio Al-Aqsa, Al-Quds, Al-Bayan, Al-Ayyam, Ar-Risalah, dan Filistin.
Logo Kepolisian Palestina: "Rabbij'al haadzal balad aaminan (Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini aman--dari doa Nabi Ibrahim AS dalam Al-Quran)." foto: Sahabat Al-Aqsha
Di akhir perbincangan, Brigjen Pol. Amin Al-Batniji mengundang Kepolisian Republik Indonesia untuk datang ke Jalur Gaza dan bersilaturrahim dengan kepolisian Palestina. “Ahlan wa Sahlan. Silakan datang, kalau bisa dilakukan akan menjadi suatu kehormatan bagi kami,” katanya.* (Sahabatalaqsha.com)
Sumber : Sahabat Al-Aqsha
Red: Administrator